Monday, July 21, 2014

Blog baru ridhomukti dot com

Malem gaes. Ada beberapa kabar gembira yang ingin saya sampaikan di blog saya ini. Bukan tentang ekstrak manggis yang lagi ngehist belakangan ini, bukan juga saya mau bagi-bagi parcel atau THR, tapi kabar gembira untuk pembaca setia blog saya. 

Sudah lebih dari 5 tahun saya mulai aktif menulis di situs-situs pribadi, tapi pada akhirnya saya lebih memilih konsisten untuk terus menulis di blog ridhomuk.blogspot.com ini. Perjalanan yang panjang, berbagai macam genre menulis sudah pernah saya tulis disini. Sering saya menulis diary yang alay, retorik, dan lain sebagainya. 

Saya sadar tulisan saya hanyalah tulisan abtrak yang hanya menggambarkan keluh kesah, kegelisahan tentang beragama dan bertuhan, ketakutan akan eksistensi orang lain dibandingkan diri saya sendiri, sampai tulisan yang hanya copy paste dari blog orang lain. Tetapi disitulah mengapa saya bisa terus menulis. 

Terima kasih buat teman-teman yang sudah bersedia mampir di blog saya ini. Setia menjadi pembaca dan komentar-komentar yang ada adalah pemicu semangat saya untuk terus menulis.

**

Dalam rangka 4 tahun blog saya ini, saya mengajak temen-temen semua buat mampir di blog baru saya ridhomukti.com yang saya jamin akan lebih banyak tulisan yang lebih menarik dan tampilan yang lebih elegan dibanding blog lama ini :D

Saat tulisan ini saya publish, saya mohon maaf bila di blog saya yang baru masih banyak submenu yang belum selesai saya edit dan beberapa tampilan yang masih dalam proses desain. Tapi akan segera saya selesaikan biar temen-temen betah berlama-lama membaca disana.

matur nuwun.

Wednesday, June 25, 2014

traveller berbasis destinasi

Seketika semua orang tertawa ketika jawaban saya adalah "jakarta". Ya itulah jawaban saya ketika ditanya oleh moderator tentang tempat mana yang menurut saya paling berkesan ketika traveling. Audience yang isinya adalah para pejalan dengan membawa bendera komunitasnya masing-masing sontak menertawakan jawaban yang terkesan aneh tadi. 

Saya hanya bisa terkejut melihat reaksi mereka yang seragam, bertanya-tanya apakah ada yang salah dengan saya, tetapi ternyata tidak, hal yang membuat ruangan menjadi riuh adalah jawaban saya yang jauh dari ekspetasi mereka tentang destinasi yang menarik atau jauh dari hiruk pikuk kota. Mungkin saja kalau saya menjawab tempat yang paling berkesan adalah Kraton Yogyakarta, bisa jadi suasana menjadi semakin ramai.

Saya langsung terheran-heran dengan sikap para -yang notabene adalah seorang pejalan- tadi, mereka selalu menyebut seorang traveller adalah orang yang cukup dewasa dalam menjalani hidup ini, emm mungkin tidak semua tapi sebagian besar, tetapi yang terjadi adalah justru sebaliknya. Sikap kekanak-kanakan jelas terpampang di depan mata saya sendiri bahwa yang namanya traveling adalah jalan-jalan ketempat yang jauh, ke pantai, ke gunung, atau ke desa yang jauh dari hiruk pikuk kota.

Dimakah letak kesalahannya? Apakah saya yang salah dalam mendeskripsikan arti dari traveling itu sendiri? Atau saya yang terlalu tinggi dan terlalu jauh memaknai sebuah perjalanan?

Sangat menggelitik sebenarnya, karena trend yang sedang berkembang saat ini adalah seorang pejalan selalu mengkampanyekan untuk menjaga alam agar tetap lestari, terjaga keseimbangannya agar anak cucu mereka kelak bisa menikmati keindahan alam yang sama dengan yang mereka alami saat ini, kemudian menyudutkan orang-orang lain yang tidak suka traveling sebagai perusak alam. Bukankah sangat lucu bila sebagian besar pejalan dengan bangganya menyebut traveling adalah cara kita untuk menjadi dewasa, tetapi justru yang terjadi adalah sebaliknya. Lalu apa kabar dengan orang-orang yang tidak melakukan traveling?

Traveller tidak bisa dituntut juga bila ada pertanyaan kenapa para traveller ini belum juga dewasa. Karena kedewasaan tidak bisa diukur dari seberapa sering mereka melakukan perjalanan atau seberapa lama mereka mulai melakukan hobi jalan-jalan ini. Kedewasaan berkembang karena traveller memaknai perjalanan mereka tidak sekedar untuk merefresh otak mereka, tetapi ada hal yang harus dipelajari dari setiap langkah kaki mereka. Sayangnya, tidak semua traveller memahami hal tersebut.

Destinasi yang menarik untuk dipubilsh di internet adalah salah satu tujuan mereka melakukan travelling. Hal ini diamini oleh penyelenggara-penyelenggara talkshow atau sekelas seminar nasional. Tema yang umum diangkat adalah bagaimana caranya untuk berani melakukan travelling dan mengajak calon traveller untuk mengunjungi sebuah destinasi yang unik, sehingga goal-nya adalah traveller berbasis destinasi, menjadi dewasa hanya sekedar bonus. 


Friday, April 25, 2014

cerita siang tadi

oke ini cerita nyata yang gue alami.
tadi siang gue mengalami kesialan karena kebodohan, gak tau gue yang bodoh atau orang lain.

ceritanya ban motor gue lagi bocor, pasti langsung cari tukang tambal ban lah ya, nah entah kenapa waktu itu susah banget cari tambal ban di sekitar rumah, padahal saat itu gue harus buru-buru nambal ban karena ada acara jam 1..

nah ban gue ini sbenernya bocor alus, bocor yang anginnya gak langsung habis, tapi dikit-dikit gitu. jadi bisa gue naikin buat keliling kampung cari tambal ban. haha . basa-basinya panjang yeee :p

pokoknya pada akhirnya gue dapet tambal ban, dan mulailah perbincangan gue dengan abang-abang yang punya.

Gue : bang, bisa nambal ban, bang?
Abang-abang : bisa mas, *sambil tiduran di kasur*
Gue : akhirnyaaa.. *ambil nafas lega akhirnya dapet tambal ban setelah keliling kampung*

30 menit nungguin, kok belum dikerjain juga ini motor..

akhirnya ada ibu-ibu dateng ke bengkel, dan ternyata ibu-ibu ini anak dari abang-abang yang tadi gue tanyain di awal.

ibu-ibu: bisa dibantu mas?
gue : ini bu, mau nambal
ibu-ibu : wah mas, bapaknya lagi ke kantor, buka nya malem mas
gue : lah, tadi katanya abang-abang tadi bisa nambal bu?   eh..



*abaikan*

Saturday, March 08, 2014

solo traveler

Dalam perkembangan dunia pariwisata yang semakin pesat ini, semakin banyak pula orang-orang yang melakukan perjalanan. Dengan dalih ingin berlibur melepas penat, tak sedikit pula yang punya alasan untuk mencari jati diri, proses pendewasaan, dan lain sebagainya.

Suatu malam gue ngetwit tentang rencana perjalanan gue selanjutnya ke Dieng, muncullah mention-mention yang isinya relatif sama, "sendiri lagi?". Apa salahnya kalau kita traveling sendirian? Bukankah disitulah cara untuk mengenal lebih jauh tentang diri kita sendiri? Proses pendewasaan yang mereka bicarakan ada di perjalanan ini.

Mari kita telaah bersama, bagaimana mungkin seseorang merasa dirinya lebih dewasa dan lebih mengenal budaya setempat atau lebih mengenal dirinya sendiri bila dia sedang ikut rombongan trip? Yang terjadi adalah mereka sedang menjadi follower. Dimana letak proses pendewasaan dirinya?

Sulit memang menjelaskan bagaimana seseorang menjadi lebih dewasa atau tidak dari sekedar melakukan perjalanan sendiri atau beramai-ramai, tapi bisa dipastikan keduanya memiliki sudut pandang yang berbeda dalam melakukan perjalanan. Tak perlu muluk-muluk, seorang traveler yang melakukan perjalanan bersama-sama akan cenderung menuliskan serunya mereka traveling bersama teman-temannya ataupun tentang seberapa indah tempat yang dikunjungi dengan tambahan foto-foto epic mereka. Tapi mari kita lihat apa yang akan dilakukan oleh solo traveller, mereka akan cenderung menuliskan seberapa menarik masyarakat dan budaya sekitar atau betapa prihatin dirinya melihat ketimpangan sosial di daerah terpencil.

Tentu ini bukan soal matematika.

Sunday, March 02, 2014

Film Pendakian Gunung Terbaik

Selama ini film dengan tema pendakian gunung memang tak sepopuler film-film bertema lain seperti film percintaan atau film action. Tetapi walaupun begitu, ada cukup banyak film - film yang bertemakan tentang pendakian gunung. Baik bergenre dokumenter, actionhorrorthriller, ataupun drama. Dari banyak judul tersebut, ada 5 Film Pendakian Gunung Terbaik menurut gue, tapi juga ini atas referensi yang gue baca di belantaraindonesia.org :

1. Nordwand a.k.a The North Face 
Bercerita tentang 2 pendaki Jerman ambisius, Max Mehringer dan Karl Sedlmayeryang mencoba mendaki dinding utara Eiger, dijaman dimana Nazi menjadi partai yang berkuasa di Eropa. Keterbatasan peralatan dan teknik, kedua pendaki yang membawa nama Jerman ini mati di tengah gunung, ketika orang orang di basecamp pendakian berpesta atas keberanian mereka mendaki gunung maut tersebut. Tragis dan ironis.
www.belantaraindonesia.org

Setelah kematian mereka, pendakian ke gunung Eiger ini ditutup, tapi tak mampu menahan ambisi para pendaki, karena "the first men to summit will be celebrated as Olympic heroes"and so the battles cry echoes through Europe: Attack the Eiger North Face!!!

Film ini diangkat dari kisah nyata, dan dikisahkan dalam film yang luar biasa, dramatis, dan tanpa katastropik seperti film Hollywood. Ini film yang pertama yang wajib di tonton oleh mereka yang mengaku pendaki gunung.

2. Seven Years in Tibet
Film ini juga diangkat dari kisah nyata pendaki gunung kenamaan, Heinrich Herrer, seorang Jerman, ketika mendaki Gunung Everest di Himalaya, dan pengalamannya terdampat di Tibet selama 7 tahun. Di sana ia tak sekedar mendaki gunung, tapi juga mendapatkan pengalaman spiritual langsung dari pemimpin Tibet,Dalai Lama. Di Tibet pulalah ia belajar kebijaksanaan timur, dimana manusia tak diukur dari prestasinya, tapi bagaimana ia menaklukkan diri sendiri.
www.belantaraindonesia.org

FYI, catatan Heinrich Herrer juga menjadi salah satu acuan dari team pendaki Mahitala ketika mereka menjelajahi pegunungan Jaya Wijaya di Papua beberapa tahun silam, menurut buku yang diterbitkan oleh Mahitala, Sudirman Range Trail. Film yang dibintangi Brad Pitt ini memang tak melulu menceritakan pendakian gunung, tapi juga kehidupan pribadi Heinrich Herrer, termasuk kisah cintanya.
 
3. Nanga Parbat
Seperti dua film diatas, film ini juga merupakan kisah pendaki besar, Reinhold Messner, ketika mendaki gunung Nanga Parbat. Banyak kisah terjadi dalam proses pendakian itu, dianggap hilang dan mati, namun akhirnya berhasil kembali, meski turun pada tempat yang berbeda, India.
www.belantaraindonesia.org

4. Touching The Void
Film semi dokumenter ini berkisah tentang 2 pendaki Inggris, Joe Simpson dan Simon Yates, yang lolos dari kematiannya ketika mencoba mendaki Siula Grandreunclimbed west face of a notorius 21.000 feet peak, di Peru.
www.belantaraindonesia.org

5. The Wildest Dream
Film dokumenter ini merupakan perjalanan napak tilas Conrad Anker yang mencoba apa yang dilakukan oleh George Mallory dan Irvine saat mendaki Everest puluhan tahun lalu. George Mallory dan Irvine hilang saat mencoba mendaki puncak tertinggi di dunia itu.
www.belantaraindonesia.org

Disini, Conrad Anker mencoba melakukan pendakian yang sama dengan pendakian Mallory, termasuk peralatannya. Film ini bagus, mengingatkan kita betapa luar biasanya para pendaki terdahulu, bahkan dengan alat seadanya, berambisi untuk mencapai puncak-puncak paling kejam sekalipun. Film yang dibuat oleh National Geographic ini lumayan bagus untuk menambah wawasan para pendaki gunung di jaman ini.

Saturday, March 01, 2014

Tergerusnya Komunitas

Ada banyak tipe pejalan yang gue temukan. Sebagian besar melakukan perjalanan bareng komunitas, tapi tidak sedikit pula yang (pada akhirnya) memilih untuk menjadi single fighter karena alasan tertentu. Tentu saja tidak bisa kita pungkiri perkembangan pariwisata indonesia tidak lepas dari campur tangan komunitas-komunitas pejalan yang meracuni anggotanya untuk ikut menjelajah negri ini.

Seiring waktu, penggiat jalan-jalan semakin berkembang pesat, semakin banyak traveller yang mencari tiket promo untuk mendapatkan tiket murah ke suatu tempat. Komunitas-komunitas pejalan juga semakin besar dengan semakin banyaknya anggota yang join trip mereka, tapi yang terjadi adalah anggota-anggota ini sebatas join trip, tidak ikut serta merta membesarkan dan menyumbang ide agar komunitas-komunitas ini terus eksis, yang pada akhirnya komunitas-komunitas ini habis dimakan usia tanpa adanya regenerasi.

Ada 2 hal yang menurut gue komunitas-komunitas ini tidak bisa bertahan lama:

1. Tiket pesawat murah yang ditawarkan maskapai-maskapai penerbangan memaksa traveller melakukan perjalanan dengan teman terdekat mereka sendiri, atau bahkan banyak yang pada akhirnya melakukan solo trip. Hal ini berimbas pada banyaknya member yang kehilangan rasa memiliki pada komunitas mereka, sehingga banyak member yang menjadi tidak mempunyai keterikatan untuk harus membesarkan komunitas yang telah melahirkan mereka.

2.  Apa ya, gue sebut saja pengurus komunitas, meskipun bukan pengurus, tapi mereka adalah orang yang aktif dan selalu memberikan ide-ide segar untuk dibawa kemana komunitas ini, jadi sebut saja mereka adalah pengurus komunitas. Nah para pengurus ini sadar bahwa member mereka banyak, bahkan ketika melakukan ajakan trip selalu ramai dengan orang-orang baru yang semangat bergabung dalam trip mereka. Tapi yang dilakukan tidak cukup untuk melakukan regenerasi. Pengurus selalu mencoba melakukan ajakan trip untuk berkenalan dengan orang-orang baru, tetapi tidak untuk menjadikan mereka pengurus yang baru bagi komunitas mereka. 
Buntu, sampai pada akhirnya berujung pada ajakan ngumpul bareng pengurus lama untuk kembali membesarkan lagi komunitas. Hal inilah yang tidak disadari, bahwa pengurus lama tidak lagi aktif di komunitas karena kesibukan dan jadwal trip mereka sendiri-sendiri.
Pengurus terus saja bernostalgia dengan masa-masa kejayaan mereka yang lalu, sehingga lupa bahwa untuk melakukan regenerasi tidak bisa dengan menarik kembali orang-orang lama untuk bergabung, tetapi justru mencari orang baru untuk meneruskan perjuangan mereka. Tentu dengan adanya orang-orang baru akan memicu kecemburuan orang-orang lama karena hilangnya eksistensi mereka di komunitas mereka sendiri, tapi sudah sewajarnya semua orang sadar diri bahwa untuk komunitas terus eksis adalah perlunya regenerasi. Nostalgia memang perlu, tapi bukan satu-satunya cara jitu mengembalikan nama besar komunitas mereka.


:fm: Circa Survive - Your Friends Are Gone

Friday, December 06, 2013

sebuah lelucon

apa yang kita cari dari sebuah perjalanan? murni pendewasaan diri? atau sekedar eksistensi diri untuk diakui orang lain bahwa kita seorang pejalan yang bebas tanpa beban yang sudah kesana kemari menginjakkan kaki yang tidak semua orang bisa datangi? atau kita orang yang peduli dengan lingkungan? atau hanya untuk membuktikan bahwa bumi yang indah ini tidak hanya ada di sekitarnya? atau untuk mencari teman sebanyak-banyaknya? atau apapun itu..

mari kita jujur pada diri kita sendiri, tak usah munafik, cukuplah jawaban-jawaban itu untuk kita sendiri.. 


dalam sebuah perjalanan singkat gue beberapa minggu yang lalu, entah yang keberapa jalan kesana, sebut saja Gunung Api Purba Nglanggeran, dimana gunung ini tergolong pendek dan tak begitu menyulitkan pendaki-pendaki gunung, secara di beberapa track yang nanjak sudah ada tangga yang disemen untuk memudahkan pendaki menikmati pemandangan dari atas; saat itu hari minggu pagi menjelang siang kita ber 6 turun dari puncak gunung ini, mendapati puluhan anak SMA yang sedang dalam perjalanan naik, tanpa bekal logistik, tanpa tas yang menggunung, tanpa kamera, dan tanpa gear outdoor, persis seperti anak-anak muda yang sedang jalan-jalan di mall.. sandal crocs yang seharusnya mereka pakai di kaki akhirnya mereka tenteng di tangan, beberapa sedang menggandeng pasangannya sekedar membantu berjalan di tanah yang licin setelah hujan semalam..

lucu memang, tapi kemudian gue sadar dan tergelitik dengan tingkah laku mereka.. dengan polosnya mereka tak acuh dengan medan yang tak biasa seperti itu, seakan tak peduli dengan peralatan yang dipakai untuk sekedar menikmati keindahan alam pegunungan bersama teman-teman.. 

kemudian gue melihat diri sendiri, apa yang gue kenakan mulai dari kepala sampai dengan kaki lengkap dengan peralatan outdoor, bahkan untuk sekedar tektok di gunung ini gue harus memenuhi isi tas dengan peralatan yang entah terpakai atau tidak, mulai dari kompor, jas hujan, headlamp, pisau, dan segala tetek bengeknya..

seketika gue malu dengan diri sendiri, apa yang gue pakai ini tak berarti apa-apa bagi anak-anak itu, barang yang gue bangga-banggakan dengan harga yang tidak murah, yang selama ini orang-orang bahas di twitter, di forum-forum peralatan outdoor ternyata hanyalah omong kosong bagi anak-anak SMA ini.. yang mereka cari murni foto dan canda tawa bersama teman, fix orang-orang yang gak munafik..

merekalah orang-orang yang setulus-tulusnya mencari kebahagiaan semata dari sebuah perjalanan, dan bisajadi secara tak sadar apa yang mereka alami juga merupakan proses pendewasaan diri.. tak melulu soal peralatan gunung yang canggih dan simple, mereka cukup mengenakan pakaian yang mereka pakai sehari-hari..

gue tidak sedang mentertawakan mereka yang tak mengenakan peralatan outdoor yang lengkap, tapi justru gue sedang mentertawakan diri gue sendiri.. cara hidup yang seharusnya sederhana ini malah gue persulit dengan peralatan gunung yang tetek bengek, padahal yang gue cari juga sama dengan mereka, hiburan di gunung, dan foto.. gue selalu dipusingkan dengan idealisme orang-orang untuk naik gunung, yang secara tak sadar kemudian menjadi idealisme bagi gue sendiri..